Senin, 05 Desember 2011

// // Tinggalkan Komentar . . .

Air Mata Cakrawala


Air Mata Cakrawala*)
Sobat,,,
Aku tidak tahu dengan kalimat apa mesti ku tulis setetes tinta ini untukmu. Malam begitu dinginnya, sementara angin tanpa permisi masuk menembus tulang-tulang persendianku. Suara deburan angin malam yang lirih terdengar bagai nyanyian orang kesepian. Lalu nyanyian itu berubah menjadi rintih kesedihan. Kesedihan dari orang-orang terluka, orang-orang kalah, orang-orang yang tersingkir, atau sengaja disingkirkan dari kehidupan. Boleh jadi, rintihan itu juga merupakan ratap keperihan dari harapan yang tak pernah sampai, atau cita-cita yang kandas di tengah jalan. Rintihan itu membuat mataku tak juga bisa terpejam.
Sobat,,, Sedang apa kau malam ini? Mungkin selama ini aku yang bersalah padamu. Aku yang dulu sering menyakiti hatimu. Maafkan aku dengan segala tingkah polahku dulu hingga membuatmu sakit hati. Maaf, jika jejak – jejak masa lalu itu menyisakan luka yang amat mendalam. Maafkan aku,,, bukan maksud raga ini mengganggu ataupun mengotori kisah kehidupanmu yang putih. Ya, aku yang bersalah meskipun munculnya keraguan itu sebetulnya datang darimu. Mengapa aku berkata demikian? Teramat sulit bagiku untuk menjelaskan kepadamu dengan kalimat-kalimat biasa.
Sobat,,, Setelah bertahun-tahun lamanya, aku mengembara arungi semesta raya akhirnya terdamparlah aku disini. Di sinilah akhirnya aku menemukan hakikat hidup. Di sinilah akhirnya aku menemukan jati diriku yang sebenarnya. Di bumi Allah inilah aku tumbuh dan mencoba untuk menyelam di samudra ilmu. Walaupun jalanku menuju-Nya masih meraba-raba dalam gelap, tapi aku yakin akan kutemukan nur kearifan itu.
Jika anugrah itu tlah tersampaikan pada kita, mengapa kita tidak mencoba mengabadikannya, menyusunnya menjadi sayair hidup yang kelak akan selalu kita kenang tentunya???
Pencaharianku belum selesai sampai di sini. Jalan yang harus aku tempuh masih panjang membentang di depan. Aku tak tahu, apa mungkin melewati jalan itu. Pada setiap persimpang jalan aku selalu bertemu dengan kepalsuan, kecurangan, kebohongan, keamburadulan. Kejujuran sangat sulit aku temukan di setiap perjalanan.
Waktu terus mengalir dan tak mungkin berhenti mengalir. Aku ingin mengikuti aliran waktu, dan tak mau berhenti untuk menemukan sebuah pencaharian yang selama ini telah aku lakukan. Pada setiap jalan yang aku lewati, segala kejadian aku rekam dalam ingatan, dan aku catat bagian-bagian penting di sebuah buku harian yang selalu menemaniku dalam perjalanan.
Aku hanya manusia biasa yang penuh dengan kekurangan, dan hanya secuil kelebihan yang aku mililki. Dari secuil kelebihan itulah aku mencoba memperkuat keimanan, menghindari semua godaan hawa nafsu yang terjadi di setiap perjalanan hidupku.
Coba lihat, apa yang ada di luar sana ? Gelap. Ya, gelap. Belakangan ini langit selalu tampak gelap. Sebagaimana dunia yang selalu dilanda kekacauan, kebohongan, kepalsuan, keamburadulan. Banyak orang pintar, tapi tidak jujur, tidak arif dalam menyikapi masalah, jusrtu egonya yang bertindak. Apakah kejujuran sudah menjadi barang langka, sehingga orang-orang tak lagi mengenalnya? Aku prihatin sobat, melihat dunia yang semakin hari semakin melenceng dari garis kehakikian. Kemaksiatan telah merajalela. Korupsi, kolusi, nepotisme seakan sudah menjadi barang wajar. Seakan hukum Allah tak ada lagi yang mengenal. Ah,,, sudah sampai peradaban manakah ini, sehingga orang-orang tak lagi mengenal kejujuran?
Tak satupun bintang terlihat di sana. Mendung hitam sedang menjadi raja dan sudah beberapa hari ini bumi terus diguyur hujan. Bagaimana dengan daerahmu? Apakah  malam ini juga sedang turun hujan? Ataukah hanya sekedar bermendung? Aku yakin, sebentar lagi hujan deras pasti akan segera turun.
Aku berharap ‘Bunga kehidupan’ yang pernah engkau berikan padaku itu dapat menikmati air yang hakiki. “Segeralah turun, wahai hujan. Biar ‘bunga kehidupan’ yang telah ditanamkan Sobat pada jiwaku ini tumbuh subur. Biar mereka dapat meminum air kehidupan.” Mataku pun berkaca-kaca melihat langit.
Sesuatu yang ku dambakan itu akhirnya menjadi kenyataan. Hujan pun turun. “Terimakasih, ya Allah! Terimakasih. Oh, ternyata engkau masih mendengar jeritan batinku.” Aku pun kegirangan.
Aku tahu, semua yang ada di dunia ini fana dan tidak ada yang abadi. Termasuk ‘ ikatan bathin ’ kita yang dipisahkan oleh garis ketakdiran hingga berujung sebuah perpisahan. Termasuk juga ‘bunga kehidupan’ yang telah kau tanamkan pada jiwaku yang terdalam ini, mungkin akan sirna.
Tapi aku yakin, di balik semua ini ada yang abadi. Kau harus tau itu. Sesuatu yang abadi adalah sesuatu yang hakiki, yang akan hidup untuk selama-lamanya, karena Ia adalah Sang pemilik cinta itu sendiri. Dialah yang lebih dekat dari segala sesuatu. Dialah puncak keagungan, keindahan, dan Sang kebenaran. Dialah yang mempertemukan kita. Dialah yang memisahkan kita. Hanya Allah lah yang abadi.
Dulu, saat aku mengenal cinta untuk pertama kalinya, dan saat aku bertempur secara habis - habisan dengannya, sesungguhnya aku telah ditipu dan diperbudaknya. Ah, cinta. Betapa cengeng tampaknya. Mestikah seumur hidup manusia hanya cukup mengurusi persoalan cinta? Padahal, betapa banyak persoalan lain yang mesti di tuntaskan dalam hidup ini di luar cinta. Tapi setidaknya, beginilah aku berpendapat. Aku seperti tidak dapat hidup bila hatiku membisu tanpa mengkidungkan nyanyian cinta. Padahal untuk selamanya, mungkin seseorang yang ku cintai, yang pernah kurindukan siang dan malam hingga bertahun - tahun lamanya, tak kan pernah kembali dan tak mungkin menjadi milikku.
“Aku memang takkan pernah memilikinya. Tapi, salahkah aku bila ingin menanamnya dilubuk hatiku yang paling dalam agar cinta itu tetap mekar untuk selamanya sebagai penyegar kehidupan ? Siapa  tahu, nanti aku dapat memetiknya di kurun waktu yang lain.” Demikianlah aku beralasan.
“Engkau mungkin tidak tahu apa yang sedang merasuk dalam sukma terdalamku malam ini. Hatiku telah menjadi serpihan kepingan luka sejak pengembaraan ini ku lakukan. Hidupku memang busuk. Tapi kau harus ingat, seburuk apapun realita yang menimpa diriku aku masih menyimpan harapan. Ya, harapan untuk memperoleh cinta itu kembali meskipun harus kutebus dengan penderitaan. Inilah milikku satu - satunya yang paling berharga sobat!!!!!
Ketika cakrawala telah  buncahkan air mata, kubiarkan musim bersemayam dalam dekap harap. Air mata yang menetes dari cakrawala itulah mungkin yang akan menjadi saksi atas lahirnya tetesan pena, hingga menjadi cermin atas jeritan bathinku selama ini. Sampai akhirnya, tak bisa kusimpan rahasia dingin malam ini. Salahkah aku bila hanya ingin menyapamu, mungkin ini dapat mengobati jiwaku yang senantiasa dilanda badai kerinduan??? Yaa Rabb,, kuasa-Mu di atas segalanya. Aku hanya bisa berharap, sedangkan skenario telah tercatat di Lauhul Mahfudz sana. Kini, aku hanya bisa bersandar pada perlintasan waktu yang masih menetes perlahan.

*) di pojok sejarah 
Tambakberas, 8 November 2011
M. Fahmi

0 komentar:

Posting Komentar