Air Mata Cakrawala*)
Sobat,,,
Aku tidak tahu dengan
kalimat apa mesti ku tulis setetes tinta ini untukmu. Malam begitu dinginnya, sementara angin tanpa permisi
masuk menembus tulang-tulang persendianku. Suara deburan angin malam yang lirih terdengar bagai nyanyian
orang kesepian.
Lalu nyanyian itu berubah menjadi rintih kesedihan. Kesedihan dari orang-orang
terluka, orang-orang kalah, orang-orang yang tersingkir, atau sengaja
disingkirkan dari kehidupan. Boleh jadi, rintihan itu juga merupakan ratap
keperihan dari harapan yang tak pernah sampai, atau cita-cita yang kandas di
tengah jalan. Rintihan itu membuat mataku tak juga bisa terpejam.
Sobat,,, Sedang apa kau malam ini? Mungkin selama
ini aku yang bersalah padamu. Aku yang dulu sering menyakiti hatimu. Maafkan
aku dengan segala tingkah polahku dulu hingga membuatmu sakit hati. Maaf, jika jejak – jejak masa
lalu itu menyisakan luka yang amat mendalam. Maafkan aku,,, bukan maksud raga
ini mengganggu ataupun mengotori kisah kehidupanmu yang putih. Ya, aku yang
bersalah meskipun munculnya keraguan itu sebetulnya datang darimu. Mengapa aku
berkata demikian? Teramat sulit bagiku untuk menjelaskan kepadamu dengan
kalimat-kalimat biasa.
Sobat,,, Setelah bertahun-tahun lamanya, aku
mengembara arungi semesta raya akhirnya terdamparlah aku disini. Di sinilah
akhirnya aku menemukan hakikat hidup. Di sinilah akhirnya aku menemukan jati
diriku yang sebenarnya. Di bumi Allah inilah aku tumbuh dan mencoba untuk menyelam di samudra ilmu. Walaupun jalanku menuju-Nya
masih meraba-raba dalam gelap, tapi aku yakin akan kutemukan ‘nur’ kearifan itu.
Jika anugrah itu tlah tersampaikan pada kita, mengapa kita tidak mencoba
mengabadikannya, menyusunnya menjadi sayair hidup yang kelak akan selalu kita
kenang tentunya???
Pencaharianku belum selesai sampai di sini. Jalan yang harus aku tempuh
masih panjang membentang di depan. Aku tak tahu, apa mungkin melewati jalan
itu. Pada setiap persimpang jalan aku selalu bertemu dengan kepalsuan,
kecurangan, kebohongan, keamburadulan. Kejujuran sangat sulit aku temukan di
setiap perjalanan.
Waktu terus mengalir dan tak mungkin berhenti mengalir. Aku ingin
mengikuti aliran waktu, dan tak mau berhenti untuk menemukan sebuah pencaharian
yang selama ini telah aku lakukan. Pada setiap jalan yang aku lewati, segala
kejadian aku rekam dalam ingatan, dan aku catat bagian-bagian penting di sebuah
buku harian yang selalu menemaniku dalam perjalanan.
Aku hanya manusia biasa yang penuh dengan kekurangan, dan hanya secuil
kelebihan yang aku mililki. Dari secuil kelebihan itulah aku mencoba memperkuat
keimanan, menghindari semua godaan hawa nafsu yang terjadi di setiap perjalanan
hidupku.
Coba lihat, apa yang
ada di luar sana ? Gelap. Ya, gelap. Belakangan ini langit selalu tampak gelap.
Sebagaimana dunia yang selalu dilanda kekacauan, kebohongan, kepalsuan,
keamburadulan. Banyak orang pintar, tapi tidak jujur, tidak arif dalam menyikapi
masalah, jusrtu egonya yang bertindak. Apakah kejujuran sudah menjadi barang langka, sehingga orang-orang tak
lagi mengenalnya? Aku prihatin
sobat, melihat dunia yang semakin hari semakin melenceng dari garis kehakikian.
Kemaksiatan telah merajalela. Korupsi, kolusi, nepotisme seakan sudah menjadi
barang wajar. Seakan hukum Allah tak ada lagi yang mengenal. Ah,,, sudah sampai
peradaban manakah ini, sehingga orang-orang tak lagi mengenal kejujuran?
Tak satupun bintang
terlihat di sana. Mendung hitam sedang menjadi raja dan sudah beberapa hari ini
bumi terus diguyur hujan. Bagaimana dengan daerahmu? Apakah malam ini juga sedang turun hujan? Ataukah
hanya sekedar bermendung? Aku yakin, sebentar lagi hujan deras pasti akan
segera turun.
Aku berharap ‘Bunga
kehidupan’ yang pernah engkau berikan padaku itu dapat menikmati air yang
hakiki. “Segeralah turun, wahai hujan. Biar ‘bunga kehidupan’ yang telah ditanamkan Sobat pada jiwaku ini
tumbuh subur. Biar mereka dapat meminum air kehidupan.” Mataku pun berkaca-kaca
melihat langit.
Sesuatu yang ku
dambakan itu akhirnya menjadi kenyataan. Hujan pun turun. “Terimakasih, ya Allah! Terimakasih. Oh,
ternyata engkau masih mendengar jeritan batinku.” Aku pun kegirangan.
Aku tahu, semua yang
ada di dunia ini fana dan tidak ada yang abadi. Termasuk ‘ ikatan
bathin ’ kita yang dipisahkan oleh garis ketakdiran hingga
berujung sebuah perpisahan. Termasuk juga ‘bunga
kehidupan’ yang telah kau tanamkan pada jiwaku yang
terdalam ini, mungkin akan sirna.
Tapi aku yakin, di
balik semua ini ada yang abadi. Kau harus tau itu. Sesuatu yang abadi adalah
sesuatu yang hakiki, yang akan hidup untuk selama-lamanya, karena Ia adalah Sang
pemilik cinta itu sendiri. Dialah yang lebih dekat dari segala sesuatu. Dialah puncak keagungan,
keindahan, dan Sang kebenaran. Dialah yang mempertemukan kita. Dialah yang
memisahkan kita. Hanya Allah lah yang abadi.
Dulu, saat aku mengenal
cinta untuk pertama kalinya, dan saat aku bertempur secara habis - habisan
dengannya, sesungguhnya aku telah ditipu dan diperbudaknya. Ah, cinta. Betapa
cengeng tampaknya. Mestikah seumur hidup manusia hanya cukup mengurusi
persoalan cinta? Padahal, betapa banyak persoalan lain yang mesti di tuntaskan
dalam hidup ini di luar cinta. Tapi setidaknya, beginilah aku berpendapat. Aku
seperti tidak dapat hidup bila hatiku membisu tanpa mengkidungkan nyanyian
cinta. Padahal untuk selamanya, mungkin seseorang yang ku cintai, yang pernah
kurindukan siang dan malam hingga bertahun - tahun lamanya, tak kan pernah
kembali dan tak mungkin menjadi milikku.
“Aku memang takkan
pernah memilikinya. Tapi, salahkah aku bila ingin menanamnya dilubuk hatiku yang paling dalam agar
cinta itu tetap mekar untuk selamanya sebagai penyegar kehidupan ? Siapa tahu, nanti aku dapat memetiknya di kurun
waktu yang lain.” Demikianlah aku beralasan.
“Engkau mungkin tidak
tahu apa yang sedang merasuk dalam sukma terdalamku malam ini. Hatiku telah menjadi serpihan
kepingan luka sejak pengembaraan ini ku lakukan. Hidupku memang busuk. Tapi kau
harus ingat, seburuk apapun realita yang menimpa diriku aku masih menyimpan
harapan. Ya, harapan untuk memperoleh cinta itu kembali meskipun harus kutebus
dengan penderitaan. Inilah milikku satu - satunya yang paling berharga sobat!!!!!”
Ketika cakrawala telah buncahkan
air mata, kubiarkan musim bersemayam dalam dekap harap. Air mata yang menetes dari
cakrawala itulah mungkin yang akan menjadi saksi atas lahirnya tetesan pena, hingga menjadi cermin
atas jeritan bathinku selama ini. Sampai akhirnya, tak bisa kusimpan rahasia
dingin malam ini. Salahkah aku bila hanya ingin menyapamu, mungkin ini dapat
mengobati jiwaku yang senantiasa dilanda badai kerinduan??? Yaa Rabb,, kuasa-Mu
di atas segalanya. Aku hanya bisa berharap, sedangkan skenario telah tercatat
di Lauhul Mahfudz sana. Kini, aku hanya bisa bersandar pada perlintasan waktu
yang masih menetes perlahan.
Tambakberas, 8 November 2011
M. Fahmi
0 komentar:
Posting Komentar