Sabtu, 10 Desember 2011

// // Tinggalkan Komentar . . .

News Letter KOMA # 01


      KOMA (Komunitas Pena)
TAK pernah BERHENTI BERKARYA
Pengasuh               :
KH.Ach. Silahuddin Asy’ari , S.Ip

Pembina
Ust. Muhyiddin S.Ag

Pendamping
Mangun Kuncoro
Yeni Rahmawati

Pimpinan Umum
M. Fahmi

Wakil Pimpinan Umum
Mamluatus  Salimah

Pimpinan Redaksi
Firman Aulia

Redaktur Pelaksana
Elma Nur Hasana
Fitri Nur Lely
Istiqomatul Mahmuda
Mambaul Huda
M. Deni

Redaktur
Segenap anggota KOMA

Lay out
Dian DJ
Sapa Redaksi
Assalamu’alaikum warohmatuallhi wabarokatu
Hay sobat...!!!
                Tiada kata yang mampu kami ukir di kertas ini selain kata “Alhamdulilah” kepada sang reator alam semesta (Allah SWT). Dengan rahmat dan Hidayanya,  kami bisa menyelesaikan news letter ini. Bergelut di tengah kesibukan kami, akhirnya kami bisa menyelesaikan dengan hanya bermodalkan niat dan inspirasi dari teman-teman semua, hingga akhirnya news letter perdana dengan tema budaya bisa terbit.
                Negara kita ini memiliki banyak sekali budaya yang beragan dan berbeda-beda, begitu pula dengan budaya-budaya yang ada di pondok yang terkenal dengan budaya anti pinjam tanpa bilang  (goshob) dll. Semua itu sangat tidak asing bagi mereka para santri.
                Demikian dari kami, kami mohon maaf apabila masih terdapat sebuah kekeliruan dalam penerbitan kali ini. Kritik dan saran sekalipun itu pedas, kan menjadi cambuk bagi kami untuk perbaikan news letter kedepannya,
                Akhirul kalam. Kami ucapkan selamat membaca dan semoga apa yang dapat kami sajikan dapat bermanfaat....Amin
Wassalamu alaikum warohmatuallahhi wabarokatu
MASIHKAH KITA PERDULI?!
BUKTIKAN KEPERDULIAN ANDA DENGAN BERPARTISIPASI MELALUI ‘KOIN SASTRA’ UNTUK
PDS H.B. JASSIN
( Paru-Paru LA)

Pada suatu hari, terlihat anak-anak muda mengunjungi temannya yang sedang sakit. Dikabarkan, pemuda itu terkena penyakit paru-paru karena terlalu banyak mengkonsumsi rokok.
Salah satu temannya bertanya kepada pemuda itu, “ Bagaimana keadaanmu?”.
“ Ya seperti inilah” jawab pemuda itu,
“Bagaimana kok bisa seperti ini”  tanyak temannya lagi
 “Mungkin terlalu banyak jenis rokok yang aku konsumsi sehingga paru-paruku kualahan untuk menyeleksinya,
“Terus bagaimana hasil dari pemeriksaanmu?” tanya teman lain yang sedari tadi memperhatikan infus yang menambung di tangan kirinya.
Pemuda yang sakit itu menjawab, “ Kejadian ini kabarnya baru terjadi di rumah sakit ini. Dan, sangat langka di dunia. Dimana di saat aku di ronsen tadi, terlihat banyak goresan di kulit paru-paruku yang bertulis.. LA...Djarum....Gudang Garam....A mild....Ardath...dll”.
 Spontan ke empat temannya kaget setengah mati mendengar apa yang di sampaikan oleh pemuda tersebut.

Cahaya KasihMu
Tuhan...
Cahaya kasihmu begitu berarti
Berarti dalam setiap hembusan nafas ini
Kau taburkan benih-benih cinta dalam hidup kami
Cinta dua insan yang terjaga
Tuhan...
Ketika kami mencintai pada sosok jiwa
Jagalah cinta kami
Agar cinta itu tal melebehi
Cintaku padamu


Harapanku
Tuhan...Akulah hambamu
Yang memiliki banyak dosa
Laranganmu sering kami langgar
Dan perintahmu sering kami hiraukan.....
Tuhan...Dunia ini semakin tua
Kami bertaubat kepadamu Untuk memohon ampunanmu.
Tuhan...Jadikan kami hambamu
Yang  selalu menjalani perintahmu dan menjauhi laranganmu
Supaya kami tidak tergila-gila oleh kenikmatan dunia
Dan supaya kami menjadi
Hambamu yang selalu berada di jalanmu.....
Amin...
(Elama Nur H.)

Sebuah catatan kecil

Pembunuhan Berencana pada Budaya
Kata budaya berasal dari bahasa Inggris culture, bahasa Jerman kultur, dan bahasa Belanda Kultuur. Keyper menafsirkan kultuur berasal dari kata cultura animi yang berarti “Memelihara dan mengembangkan jiwa”. Dalam arti sempit, budaya adalah semua hasil pikiran, cipta, rasa dan karya manusia. Contoh : candi, tarian, bahasa dll. (baca buku Antropologi). Budaya berfungsi sebagai cermin identitas suatu bangsa.
Perkembangan suatu budaya  tidak bisa lepas dari pengaruh pemerintah dan peran keikutsertaan masyarakat. Bagaimana pemerintah menyikapi perkembangan arus budaya dan masyarakat menerima, lantas mengembangkanya.
Jika tolak ukurnya demikian, kita tidak bisa mengelak adanya istilah ‘Naza’ Budaya’ menimpah bangsa kita. Sebuah istilah yang tak akan pernah di jumpai dalam pelajaran Antropologi; istilah yang berbau pesantren. Dalam artian, budaya kita sudah berada di depan pintu gerbang sakaratul maut.Jika tidak segera di selamatkan, maka yang namanya budaya harus di kubur. Padahal, budaya bukanlah tubuh ketika mati ada jasadnya (meminjam ungkapan saudara Fahmi).
Tengoklah! Dalam hal sastra saja, pemerintah memangkas uang anggaran untuk PDS H.B. Jassin. Dengan hanya nominal lima puluh juta pertahun. Mengenaskan, bukan? Padahal itu adalah tempat dokumentasi sejarah panjang kesusteraan kita.
Mungkin bangsa kita memang perlu adanya konflik lebih dulu untuk membuat kita sadar. Caranya, kita minta tolong Malaysia untuk mengakuinya. Baru bangsa kita bisa bangga.
Kita tinggalkan rencana gila  itu. Sebuah rencana yang tak kita harap terjadinya.
Lalu, seberapa besar minat rakyat Indonesia terhadap sastra? Kita tidak bisa mengelak dari jawaban dalam kondiasi nelangsa. Boro-boro nulis, sekedar memberikan apresiatif saja sudah sangat susah. Buktinya, bangsa kita terkenal buta huruf dan lumpuh tangan. Mata kita rabun ketika mambaca novel, cerpen atau puisi, tapi mendelong ketika nonton televisi (lebih lanjut baca : puisi “Pelajaran Mengarang dan Tata Bahasa karya Taufik Ismail).
Belum lagi meluarangkasnya teknologi dan peradaban barat hingga sampai ke negeri kita, membuat terlumatnya budaya-budaya luhur warisan nenek moyang. Secara tidak kita sadari, perilaku dan ideologi kita banyak berkiblat ke negara barat (westernisasi); hidup  bebas tanpa ada sesuatu apapun yang mengikat. Padahal, itu bukanlah corak bangsa kita. Bangsa kita adalah bangsa yang beradab!
Memang sudah 60 tahun lebih kita merdeka dari penjajahan, tapi hati dan pikiran kita belum. Kita masih di jajah melalui ideologi dengan sarana yang beragam.
Di dalam filsafat hukum Islam, atau yang lebih akrab disebut Ushul Fiqh, ada sebuah solusi yang tepat untuk menyikapi perkembangan budaya. Solusi itu berbentuk kaidah yang berbunyi, “Melestarikan budaya lama yang masih baik, dan mengadopsi budaya baru yang lebih baik”. Sebuah kaidah yang sering kita dengar, tapi rasanya sampai hari ini rasanya tidak ada jaminan buat kita untuk faham.
Tidak usah terus-menerus mengelus dada menyambati realita. Yang penting, mari kita memikirkan dan serempak melakukan sebuah tindakan!
Kalau tidak,kita harus bersiap mentubuhkan budaya dan membeli beberapa helai kain kafan untuk mengubur kewafatannya. Dan siapa yang bertanggung jawab atas kewafatanya? Tidak lain adalah kita. Kitalah yang harus bertanggung jawab! Karena kita telah melakukan pembunuhan berencana secara perlahan dengan menusukkan pisau perilaku yang keliru pada budaya. Dan, senjata tajam siap terkam berupa kiamat kesadaran yang nancap pada ubun-ubun kepala kita.  (Dian DJ)
14 April 2011


Opini
“Naza’ Budaya”
Saat ini budaya di Indonesia mulai terserang flu dari budaya-budaya barat. Ketidakmampuan men-scan virus-virus dari luar, menyebabkan budaya di indonesia ini ternaza’kan. Kita sebagai penerus bangsa wajib untuk melestarikan budaya kita. Siapa lagi kalau tidak kita..??
Pada zaman sekarang orang barat bila menyerang orang muslim tidak dengar menggunakan peperanga fisik. Karena menurut mereka, sangatlah sulit menyerang orang muslim dengan cara itu. Mereka mempunyai taktik menyerang yang lebih canggih, dari pada perang fisik, salah satunya adalah melalui dunia maya dan berbagai mode. Sekilas dunia maya banyak menimbulkan dampak positif, Seperti : menemukan berbagai  informasi dari seluruh dunia. Tapi, dari sisi negatifnya, kita bisa lihat sendiri. Kema’siatan telah merajalela. Semua itu dapat menjadikan lalai pada Sang Kholiq. Dunia dan segala permasalahanya telah menyibukkan kita, sehingga kita lupa ke padaNya.
Budaya memang sudah ada sejak dulu, akan tetapi, sekarang perlahan mulai dihilangkan dan tergantikan dengan budaya-budaya baru yang negatif. Buanglah sisi negatif dari budaya lama! Dan ambillah sisi positif dari budaya baru. Bagaimana jika budaya kita nanti mati? Akan di kubur dimana ia? Budaya bukanlah sosok, ketika ia mati tidak ada jasadnya. (M. Fahmi)

0 komentar:

Posting Komentar