KOMA (Komunitas Pena)
TAK pernah
BERHENTI BERKARYA
Pengasuh :
KH.Ach.
Silahuddin Asy’ari , S.Ip
Pembina
Ust.
Muhyiddin S.Ag
Pendamping
Mangun
Kuncoro
Yeni
Rahmawati
Pimpinan
Umum
M.
Fahmi
Wakil
Pimpinan Umum
Mamluatus Salimah
Pimpinan
Redaksi
Firman
Aulia
Redaktur
Pelaksana
Elma
Nur Hasana
Fitri
Nur Lely
Istiqomatul
Mahmuda
Mambaul
Huda
M. Deni
Redaktur
Segenap
anggota KOMA
Lay
out
Dian
DJ
Sapa Redaksi
Assalamu’alaikum
warohmatuallhi wabarokatu
Hay sobat...!!!
Tiada
kata yang mampu kami ukir di kertas ini selain kata “Alhamdulilah” kepada sang
reator alam semesta (Allah SWT). Dengan rahmat dan Hidayanya, kami bisa menyelesaikan news letter ini.
Bergelut di tengah kesibukan kami, akhirnya kami bisa menyelesaikan dengan
hanya bermodalkan niat dan inspirasi dari teman-teman semua, hingga akhirnya
news letter perdana dengan tema budaya bisa terbit.
Negara
kita ini memiliki banyak sekali budaya yang beragan dan berbeda-beda, begitu
pula dengan budaya-budaya yang ada di pondok yang terkenal dengan budaya anti
pinjam tanpa bilang (goshob) dll.
Semua itu sangat tidak asing bagi mereka para santri.
Demikian
dari kami, kami mohon maaf apabila masih terdapat sebuah kekeliruan dalam
penerbitan kali ini. Kritik dan saran sekalipun itu pedas, kan menjadi cambuk
bagi kami untuk perbaikan news letter kedepannya,
Akhirul
kalam. Kami ucapkan selamat membaca dan semoga apa yang dapat kami sajikan
dapat bermanfaat....Amin
Wassalamu
alaikum warohmatuallahhi wabarokatu
MASIHKAH KITA PERDULI?!
BUKTIKAN KEPERDULIAN ANDA DENGAN
BERPARTISIPASI MELALUI ‘KOIN SASTRA’ UNTUK
PDS H.B. JASSIN
( Paru-Paru LA)
Pada suatu hari, terlihat anak-anak muda mengunjungi temannya yang sedang
sakit. Dikabarkan, pemuda itu terkena penyakit paru-paru karena terlalu banyak
mengkonsumsi rokok.
Salah satu temannya bertanya kepada pemuda itu, “ Bagaimana keadaanmu?”.
“ Ya seperti inilah” jawab pemuda itu,
“Bagaimana kok bisa seperti ini”
tanyak temannya lagi
“Mungkin terlalu banyak jenis rokok
yang aku konsumsi sehingga paru-paruku kualahan untuk menyeleksinya,
“Terus bagaimana hasil dari pemeriksaanmu?” tanya teman lain yang sedari
tadi memperhatikan infus yang menambung di tangan kirinya.
Pemuda yang sakit itu menjawab, “ Kejadian ini kabarnya baru terjadi di
rumah sakit ini. Dan, sangat langka di dunia. Dimana di saat aku di ronsen
tadi, terlihat banyak goresan di kulit paru-paruku yang bertulis..
LA...Djarum....Gudang Garam....A mild....Ardath...dll”.
Spontan ke empat temannya kaget
setengah mati mendengar apa yang di sampaikan oleh pemuda tersebut.
Cahaya KasihMu
Tuhan...
Cahaya kasihmu begitu berarti
Berarti dalam setiap hembusan nafas ini
Kau taburkan benih-benih cinta dalam hidup kami
Cinta dua insan yang terjaga
Tuhan...
Ketika kami mencintai pada sosok jiwa
Jagalah cinta kami
Agar cinta itu tal melebehi
Cintaku padamu
Harapanku
Tuhan...Akulah hambamu
Yang memiliki banyak dosa
Laranganmu sering kami langgar
Dan perintahmu sering kami hiraukan.....
Tuhan...Dunia ini semakin tua
Kami bertaubat kepadamu Untuk memohon ampunanmu.
Tuhan...Jadikan kami hambamu
Yang selalu menjalani perintahmu dan
menjauhi laranganmu
Supaya kami tidak tergila-gila oleh kenikmatan dunia
Dan supaya kami menjadi
Hambamu yang selalu berada di jalanmu.....
Amin...
(Elama Nur H.)
Sebuah catatan kecil
Pembunuhan
Berencana pada Budaya
Kata
budaya berasal dari bahasa Inggris culture, bahasa Jerman kultur, dan
bahasa Belanda Kultuur. Keyper menafsirkan kultuur berasal dari
kata cultura animi yang berarti “Memelihara dan mengembangkan jiwa”.
Dalam arti sempit, budaya adalah semua hasil pikiran, cipta, rasa dan karya
manusia. Contoh : candi, tarian, bahasa dll. (baca buku Antropologi). Budaya
berfungsi sebagai cermin identitas suatu bangsa.
Perkembangan
suatu budaya tidak bisa lepas dari
pengaruh pemerintah dan peran keikutsertaan masyarakat. Bagaimana pemerintah
menyikapi perkembangan arus budaya dan masyarakat menerima, lantas
mengembangkanya.
Jika
tolak ukurnya demikian, kita tidak bisa mengelak adanya istilah ‘Naza’
Budaya’ menimpah bangsa kita. Sebuah istilah yang tak akan pernah di jumpai
dalam pelajaran Antropologi; istilah yang berbau pesantren. Dalam artian,
budaya kita sudah berada di depan pintu gerbang sakaratul maut.Jika
tidak segera di selamatkan, maka yang namanya budaya harus di kubur. Padahal,
budaya bukanlah tubuh ketika mati ada jasadnya (meminjam ungkapan saudara Fahmi).
Tengoklah!
Dalam hal sastra saja, pemerintah memangkas uang anggaran untuk PDS H.B. Jassin.
Dengan hanya nominal lima puluh juta pertahun. Mengenaskan, bukan? Padahal itu
adalah tempat dokumentasi sejarah panjang kesusteraan kita.
Mungkin
bangsa kita memang perlu adanya konflik lebih dulu untuk membuat kita sadar.
Caranya, kita minta tolong Malaysia untuk mengakuinya. Baru bangsa kita bisa
bangga.
Kita
tinggalkan rencana gila itu. Sebuah
rencana yang tak kita harap terjadinya.
Lalu,
seberapa besar minat rakyat Indonesia terhadap sastra? Kita tidak bisa mengelak
dari jawaban dalam kondiasi nelangsa. Boro-boro nulis, sekedar
memberikan apresiatif saja sudah sangat susah. Buktinya, bangsa kita terkenal
buta huruf dan lumpuh tangan. Mata kita rabun ketika mambaca novel, cerpen atau
puisi, tapi mendelong ketika nonton televisi (lebih lanjut baca : puisi
“Pelajaran Mengarang dan Tata Bahasa karya Taufik Ismail).
Belum
lagi meluarangkasnya teknologi dan peradaban barat hingga sampai ke negeri
kita, membuat terlumatnya budaya-budaya luhur warisan nenek moyang. Secara
tidak kita sadari, perilaku dan ideologi kita banyak berkiblat ke negara barat
(westernisasi); hidup bebas tanpa ada
sesuatu apapun yang mengikat. Padahal, itu bukanlah corak bangsa kita. Bangsa
kita adalah bangsa yang beradab!
Memang sudah 60 tahun lebih kita merdeka dari penjajahan, tapi hati dan
pikiran kita belum. Kita masih di jajah melalui ideologi dengan sarana yang
beragam.
Di dalam filsafat hukum Islam, atau yang lebih akrab disebut Ushul Fiqh,
ada sebuah solusi yang tepat untuk menyikapi perkembangan budaya. Solusi itu
berbentuk kaidah yang berbunyi, “Melestarikan budaya lama yang masih baik, dan
mengadopsi budaya baru yang lebih baik”. Sebuah kaidah yang sering kita dengar,
tapi rasanya sampai hari ini rasanya tidak ada jaminan buat kita untuk faham.
Tidak usah terus-menerus mengelus dada menyambati realita. Yang
penting, mari kita memikirkan dan serempak melakukan sebuah tindakan!
Kalau tidak,kita harus bersiap mentubuhkan budaya dan
membeli beberapa helai kain kafan untuk mengubur kewafatannya. Dan siapa yang
bertanggung jawab atas kewafatanya? Tidak lain adalah kita. Kitalah yang harus
bertanggung jawab! Karena kita telah melakukan pembunuhan berencana secara
perlahan dengan menusukkan pisau perilaku yang keliru pada budaya. Dan, senjata
tajam siap terkam berupa kiamat kesadaran yang nancap pada ubun-ubun kepala
kita. (Dian DJ)
14 April 2011
Opini
“Naza’
Budaya”
Saat ini
budaya di Indonesia mulai terserang flu dari budaya-budaya barat.
Ketidakmampuan men-scan virus-virus dari luar, menyebabkan budaya di indonesia
ini ternaza’kan. Kita sebagai penerus bangsa wajib untuk melestarikan
budaya kita. Siapa lagi kalau tidak kita..??
Pada
zaman sekarang orang barat bila menyerang orang muslim tidak dengar menggunakan
peperanga fisik. Karena menurut mereka, sangatlah sulit menyerang orang muslim
dengan cara itu. Mereka mempunyai taktik menyerang yang lebih canggih, dari
pada perang fisik, salah satunya adalah melalui dunia maya dan berbagai mode.
Sekilas dunia maya banyak menimbulkan dampak positif, Seperti : menemukan
berbagai informasi dari seluruh dunia.
Tapi, dari sisi negatifnya, kita bisa lihat sendiri. Kema’siatan telah
merajalela. Semua itu dapat menjadikan lalai pada Sang Kholiq. Dunia dan segala
permasalahanya telah menyibukkan kita, sehingga kita lupa ke padaNya.
Budaya
memang sudah ada sejak dulu, akan tetapi, sekarang perlahan mulai dihilangkan
dan tergantikan dengan budaya-budaya baru yang negatif. Buanglah sisi negatif
dari budaya lama! Dan ambillah sisi positif dari budaya baru. Bagaimana jika
budaya kita nanti mati? Akan di kubur dimana ia? Budaya bukanlah sosok, ketika
ia mati tidak ada jasadnya. (M. Fahmi)
0 komentar:
Posting Komentar