Rabu, 30 Oktober 2013

// // 1 comment

Suara di Balik Tabir Senja

Suara di Balik Tabir Senja
    Sejenak kualihkan pandangan pada jam kehidupanku, ternyata aku akan segera sampai di penghujung. Tapi, aku baru sadar, bahkan begitu sadar aku belum berbuat sesuatu yang terbaik. Mungkin begitu sempitnya waktu atau aku sendiri yang tak menyadari telah tergilas oleh waktu. Sekali melesat, maka tak akan ada yang dapat menariknya kembali. Hidupku terkadang suka, kadangpun duka, dan tak jarang pula datar tanpa ekspresi.
Sore ini, semula aku tak ingin berbuat apa-apa. Pikiranku kusut memikirkan sesuatu. Tapi, hatiku bisa beku bila tak melakukan sesuatu. Ruangan kamar pondok ini terlalu sempit bagi jiwaku yang ingin terus mengembara tanpa batas. Itulah sebabnya, aku sengaja memilih keluar sore ini. Aku lebih memilih jalan sunyi yang mendaki lagi sukar penuh onak dan duri, serta batu-batu krikil yang tajam menantang merintang. Inilah pengembaraan yang lebih panjang untuk membuktikan cinta itu. Cinta bukanlah sekedar ucapan yang tak bermakna dan kadang bisa berbohong. Hatilah yang sebenarnya lebih jujur.  Perjalanan ini tak akan ada habisnya untuk menghidupkan kembali kemuliaan yang telah sirna. Kutulis segenggam asa ini. Kutulis semata-mata karena aku ingin menulis. Setelah semuanya tertulis dan segala resah gelisahku tertuang dalam buku ini, maka akan legalah perasaanku.
Di sinilah aku mengukir harapan untuk menghadapi kehidupan esok. Ya, esok… Ketika aku telah meninggalkan kehidupanku di sini. Tapi, di sini hidupku lebih terjamin dan terjaga dari kemusta’malan. Aku menikmatinya, karena di sinilah aku belajar teratur, mandiri dan disiplin. Sayangnya, hidupku di sini terbatas. Semuanya telah diatur oleh ketentuan hukum pesantren. Ibaratnya seperti dibatasi oleh lapisan yang begitu tipis, terbuat dari tiupan sabun cuci membentuk bulatan yang bila tesapu cahaya tampak warna-warni mejikuhibiniu. Dan di dalam pusaran itulah aku hidup.
    Bunga sabun ini suatu saat akan pecah. Tinggal kapan dan siapkah aku menghadapi realita yang akan terjadi. Apakah terlempar jauh ke bawah, ke dunia asing, atau ke dunia Antah berantah? Entahlah. Siapkah aku untuk melestarikan kehidupan yang selama ini kujalani setelah keluar dari pelindung bulat ini? Di luar memang terlihat lebih indah, lebih megah, tapi di sana lebih liar dan lebih tak aman, karena sekali salah maka akan tenggelam pada jurang kesesatan. Bukannya aku takut dengan kehidupan di luar sana, tapi dari detik ini setidaknya aku telah siap dan meyakinkan iman yang telah lama terpatri dalam jiwaku. Karena musuh sejatiku nanti bukanlah orang, melainkan hawa nafsu dan kehidupan masa kini yang keras dan ganas. Sekarang bukanlah seperti dahulu yang melawan musuh dengan peperangan fisik. Tapi, sekarang… ya, sekarang yang terjadi adalah peperangan bathin. Seseorang telah kalah dari peperangan jika ia menjual imannya. Ya, iman… Kini berpegang teguh pada iman islam, ihsan dan sunnah rasul ibarat memegang batu bara yang menyala. Jika tak kuat menahannya, tewaslah ia dalam menghadapi pertempuran melawan dirinya sendiri.
Aku harus segera berbenah diri, dan berusaha melakukan sesuatu yang terbaik dari yang terbaik.  Mulai dari sekarang, mulai dari yang terkecil, dan mulai dari diri sendiri. Aku tiba-tiba dikejutkan dengan suara, yang aku sendiri tak tahu dari mana asalnya. Suara itu seperti mengingatkanku akan sebuah perjuangan melawan ganasnya kehidupan. Mungkin, suara di balik tabir senja itu yang merayuku agar membuka jendela kehidupan yang sesungguhnya. Sedikit terkejut, suara itu mengajakku bangun dan meraih kembali kesadaranku. Detik-detik terakhir ini memang telah melahirkan sebuah kesadaran baru. Kesadaran bahwa, untuk apa sebenarnya aku diciptakan dan dihadirkan oleh Allah di dunia ini? Di samping itu, yang selalu melekat dalam pikiranku adalah aku akan berpencar dengan orang-orang kesayanganku. Aku akan berpisah dengan kamu, dia, dan mereka. Aku akan meninggalkan kisah terindah dari bunga sabun ini. Hingga suatu saat “pluk”, tanpa suara yang heboh, tanpa efek yang luar biasa, bulatan sabun itu pecah. Aku jatuh di tempat yang telah digariskan oleh-Nya. Dengan air mata aku menerima semua kenyataan. Dengan air mata aku tak bersama mereka lagi, penasehatku, pelipur laraku, para masyayikh, orang-orang yang telah memberiku pelajaran hidup, guru-guru, dan semua orang yang telah mendidikku untuk menjadi seseorang yang dewasa dalam bidang apapun. Semua itu aku terima dengan air mata kenyataan yang belum aku tahu, karena ternyata bulatan sabun kenangan itu belum pecah. Hanya tinggal menunggu dan merelakan sang takdir bila harus bicara terhadap diriku…
[ di penghujung tahun ]

1 komentar: