Senin, 04 November 2013

// // Tinggalkan Komentar . . .

He Don’t Believe That’s First Love

He Don’t Believe That’s First Love
Biru memandang ke arah lautan. Biru laut terhampar di hadapannya. Lepas ia memandang, awan putih membentuk gumpalan-gumpalan dan sang mentari bersembunyi di baliknya. Angin bertiup semilir membelai rambutnya perlahan. Aroma laut mengingatkan akan masa lalunya. Ia berdiri di atas karang yang kokoh tegak ribuan tahun menahan terjangan ombak. Ia semakin larut dengan fikiran-fikirannya, lamunan-lamunannya, angan-angannya, dan semua yang ada di benaknya. Debur ombak di sela batu karang dan ikan-ikan berkejaran menikmati segarnya laut. Tiba–tiba ia dikejutkan dengan suara yang mengalahkan halilintar. Sampai pada akhirnya ia terbangun dari mimpi. Ia menatap seorang lelaki berdiri tegak di hadapannya, sambil membawa semprotan berisi air siap untuk menyiramnya. “Ampun Mas, ampun Mas! Dingin!”, air membasahi wajahnya dan ia segera berlari untuk wudlu.
Merupakan kesialan sekaligus keberuntungan baginya mempunyai ketua kamar sekaligus pengurus pondok yang setiap pagi selalu membuyarkan mimpi-mimpi indahnya. Ia harus berhadapan dengan manusia yang luar biasa tangguh dan tak terkalahkan. Dengan segala perlengkapannya semprotan berisi air di tangan kirinya, dan kayu menjalin yang hampir tak pernah lepas dari tangan kanannya. Begitulah cara Mas Syamsul menyapa para santri tiap pagi, jika ada santri yang masih tertidur pulas dan tidak sholat berjamaah di masjid. Gayanya mengalahkan pendekar dari negeri ‘Antah Berantah’. Itulah yang terjadi setiap kali Biru malas untuk bangun pagi.
*     *     *
Saat fajar mulai membentangkan sayap-sayapnya, sang subuh bersiap-siap menggantikannya. Hari itu Biru tidak lagi dibangunkan oleh Mas Syamsul. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri dan memegang prinsip tujuanya di sini. Ia berusaha membuang sifat malas, manja dan lain sebagainya. Pertama memang sangat berat baginya untuk bangun shubuh. Saat adzan shubuh terngiang di telinganya, ia pun beranjak bangun dan segera berwudlu. Ketika ia keluar dari kamarnya, hawa dingin tiba-tiba menyergapnya. Dengan segala tekad ia memberanikan diri untuk memeluk angin shubuh itu. Ia mengikuti sholat shubuh berjamaah lalu mengikuti pengajian kitab Riyadus-Shalihiin.
Ketika lubuk langit memantulkan semburat kemilauannya yang putih menerangi belahan bumi, sang mentari mulai menyingsing menelan sisa-sisa malam yang merambat pagi. Ia melangkahkan kakinya sambil memantapkan niatnya. Tak lama kemudian ia tiba di sekolah yang sangat ia banggakan.
Biru menatap langit, terlintas seekor burung terbang gelisah menembus awan. Ia semakin tidak mengerti dengan semua yang ada dalam benaknya.

“Aku sangat berterima kasih padamu, Pink. Aku banyak berhutang budi padamu. Engkah telah mampu membuka tabir kebenaran. Tanpa adanya pertolongan Allah yang dilewatkan padamu, mungkin aku akan sangat merasa sangat keberatan dalam menanggung beban kehidupan ini. Aku akan banyak terjatuh dan terluka jika aku berjalan sendiri. Engkau mampu menunjukkan aku pada jalan harapan. Dan sebagai gantinya, engkau boleh minta apapun kepadaku, sebagai balasan hutang budiku kepadamu.”
“Kita bersama-sama adalah saudara seiman. Walaupun kita berlawanan jenis, tapi kita mempunyai kewajiban untuk saling bahu-membahu, membantu satu sama lain dan menegakkan kebenaran di jalan Allah. Aku ikhlas melakukan ini semua. Kamu tidak perlu merasa berhutang budi padaku dan tidak perlu menggantinya dengan sesuatu apapun.” Sahut Pink.
“Tolong Pink, untuk kali ini saja jangan menolak. Engkau boleh meminta apapun dariku. Please!!” Pinta Biru penuh harap.
“Baiklah, jika itu kemauanmu. Aku hanya minta satu permintaan. Maukah suatu saat nanti engkau menjadi ungu?”
Kedua pasang mata itu saling menatap. Ada aura yang berbeda antara tatapan sekarang dengan sebelumnya. Entahlah, yang pasti tatapan itu tidak bisa dipahami oleh logika.

Jombang, 14 Oktober 2011
M. Fahmi

0 komentar:

Posting Komentar